Minggu, 30 September 2012
Cerpen persahabatan berjudul Senyummu adalah Hidupku ini dikirim oleh Sarah Aulia.
Hari berganti. Sekarang aku sudah mengenakan kemeja putih dan rok abu-abu selututku. Akupun bersiap untuk segera berangkat ke sekolah.
Aku sampai di sekolah. “Pagi Lala. Sendiri aja?” seseorang mengagetkanku dari belakang.
“Bisa gila gue lama-lama….” Jeritku ketika aku melihat sebuah karangan bunga lagi di meja belajarku.
“Hai La… Din.” Seseorang menepuk pundakku.
Sesuai janjiku yang kemarin, aku dan Pramudina datang ke acara peluncuran single terbarunya Ilham. Di sana rencananya Ilham akan mengenalkanku pada personel Boy bandnya.
Tok… tok
“Kok bisa penyakit jantungnya Dina kambuh? Emangnya kenapa?” tanyaku kepada Ilham yang sedang berada di ruang tunggu.
Kamis, 13 September 2012
Latar Belakang Kerajaan Kediri
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).
Perkembangan Kediri
Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
Karya Sastra Zaman Kadiri
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Runtuhnya Kadiri
Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
Raja-Raja yang Pernah Memerintah Kediri
Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah di Daha, ibu kota Kadiri:1. Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh
Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu.Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.
2. Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu
- Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
- Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
- Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
- Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
- Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
- Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
- Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
- Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
- Sri Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.
3. Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:- Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
- Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
- Tohjaya kakak Guningbhaya
- Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja Singhasari
4. Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri Majapahit.5. Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit
Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:- Jayanagara 1295-1309 Nagarakretagama.47:2; Prasasti Sukamerta - didampingi Patih Lembu Sora.
- Rajadewi 1309-1375 Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
- Indudewi 1375-1415 Pararaton.29:19; 31:10,21
- Suhita 1415-1429 ?
- Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Waringin Pitu
- Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri
6. Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit
Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527.Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal dari pada Daha.
Kepustakaan
- H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
|
|||||||||||
| Didahului oleh: Janggala |
Kerajaan Hindu-Budha 1042 - 1222 |
Digantikan oleh: Singasari |
Jumat, 07 September 2012
kempulan cerpen kompas
Kumpulan Cerpen Kompas
arsip cerita pendek kompas minggu
Dua Wajah Ibu
dengan 20 komentar
15 suara

Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.
”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan carut-marut.
Langganan:
Komentar (Atom)



